Bumbu Dasar Dalam Kenikmatan Finansial

Anas Roiyan

Anas Roiyan

Penulis

Bagikan artikel ini:

“Sebetulnya gaji anakku gak juga begitu kecil, tapi kok rasa-rasanya habis oleh dia aja, kayak gak dapat apa-apa.”

 

“ Perasaan kemarin lusa masih 2 juta, sekarang ko tinggal 1 juta”

 

“ Pempers anak, susu buat si adek, gas LPJ habis, listrik udah bunyi, si kakak minta duit buat kegiatan di sekolah, gaji paksu lumayan, tapi ko akhir bulan serasa sengsara ya”

 

Pernah berada di 3 kalimat diatas?

 

Kalimat pertama, sosok Ibu yang kebingungan dengan siklus finansial anaknya. Gaji lumayan tapi ko gak dapat apa-apa.

 

Kalimat kedua, umumnya dialami oleh jomblowan-jomblowati yang duitnya dipegang sendiri, biasanya baru merasakan punya gaji sih, plus males buat nyatet dan nginget-nginget pengeluarannya.

 

Kalimat ketiga, sudah punya istri ditambah sudah punya anak, gaji sih ada, tapi selalu merasa ngos-ngosan kalau akhir bulan.

 

Biasanya sih begitu, ada yang punya pengalaman lebih parah?

 

Ketiga kasus diatas, kalau mau kita cari titik temunya, ini menyangkut sisi pendapatan dan pengeluaran. Pendapatannya yang emang kecil atau pengeluarannya yang tidak terkontrol?

 

Kalau dalam sup, yang bikin sup enak ialah beragam campurannya, mulai dari daging/ayam, kaldunya, wortel dan kentang, dan bumbu-bumbu yang lainnya. Tapi percayalah bahwa dari kesemua tadi, yang harus ada itu adalah garam dan gula. Mau selengkap apapun bahannya, tanpa ada garam dan gula, rasanya justru tidak enak, sebab garam dan gula itu bumbu dasar.

 

Dalam realitas sisi finansial kita, yang bikin hidup enak itu adalah punya gaji, ada asset, ada perlindungan asuransi, ada persiapan dana darurat, punya persiapan dana pendidikan, ada alokasi untuk liburan, dsb nya. Namun, dari kesemuanya tadi, adalah pemahaman kita mengenai pendapatan dan pengeluaran yang paling utama, sebab inilah ‘bumbu dasar’ dari kenikmatan-kenikmatan lainnya.

 

Karena salah mengatur bumbu dasar, kadang-kadang masakan kita kemanisan, kadang juga kemasinan, mau kemanisan atau kemasinan, rasa keduanya tetaplah kurang enak. Yang enak itu adalah rasa yang pas, saat manis dan masin ini menyatu kedalam bumbu rempah-rempah lainnya.

 

Salah mengatur bumbu dasar ini, karena terlalu berhemat, hidup kita jadi serbasalah. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, pakaian seadanya, kemana-mana jalan kaki. Ini sih namanya pelit, bukan hemat. Pelitnya bukan main, termasuk juga ke diri sendiri. Salah mengatur bumbu dasar juga, membuat ktia terlalu berpoya-poya, sudah tahu pendapatan bisa dihitung, eh pengeluarannya tak hitung-hitung.

 

Tipsnya sebetulnya sederhana, yaitu pengeluaran kita tidak lebih besar dari pendapatan. Pendapatan kita 5 juta, maka jangan sampai pengeluaran kita diatas 5 juta. Pendapatan 5 juta, pengeluaran 4 juta, itu bagus. Pendapatan 5 juta, pengeluaran 3 juta, itu sangat bagus. Namun jangan sampai gara-gara kepingin sangat menghemat sisi pengeluarannya, kita menzholimi kehidupan kita. Yang harusnya bisa pakai motor, jadinya jalan kaki. Yang tadinya bisa makan ayam dan daging walau sesekali, jadinya dipaksakan tahu-tempe tiap hari. Yang tadinya ada budget untuk healing-healing, dipaksakan jadi tiada.

 

Hidup yang ideal itu adalah hidup yang tawazun, yaitu melakukan segala sesuatunya secara proporsional dan seimbang.

 

Kalaupun ternyata susah sekali untuk menurunkan budget pengeluaran yang ada. Tetap saja pengeluaran yang ada lebih besar daripada pendapatan, maka yang dapat dilakukan berikutnya adalah menaikkan pendapatan.

 

Menaikkan pendapatan itu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menaikkan gaji dari pekerjaan kita sekarang, awalnya gaji kita 5 juta, naik jadi 6 juta, atau menambah aliran pemasukan yang lain, bisa lewat freelance, membuat usaha sampingan, membuka warung kelontong di rumah. Termasuk mempertimbangkan pasangan kita (bagi yang sudah menikah) untuk kembali memiliki pekerjaan. Tentu dengan konsekuensi yang ada.

 

Artikel Populer
Artikel Terbaru
Artikel Terkait